Sabtu, 07 April 2012

Fastabiqul Khoirot


Belajar di waktu kecil bagai mengukir diatas batu
Belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir diatas air

Syair diatas merupakan lagu favoritku di masa TPA dulu. Kalau lagu itu dinyanyikan, aku berani mengeluarkan suara yang paling keras dan paling merdu dari mulut mungilku dulu. Walaupun dulu aku tidak tahu maksud dari lagu itu. Yang ada difikkiranku dulu hanyalah aku suka lagu ini karena nadanya indah.

Sekarang, di usiaku yang hampir menginjak 22 tahun, aku mengalami kebenaran, kenyataan dari lagu itu. Kenyataan ini bermula dari sms dari salah satu mbak kosku yang minta tolong padaku untuk mengajar mengaji (baca al-qur’an)ibu-ibu yang bekerja di Samsat Banyumanik. Pada awalnya aku ragu, karena aku belajar baca Al-qur’an tidak menggunakan metode khusus. Hanya tartil biasa yang diajarkan ustadzku dulu sewaktu aku berusia 3tahun. Dan dilanjutkan dengan pelatihan ustadz-ustadzah yang diselenggarakan oleh BKPRMI Bojonegoro. Hanya tartil saja. Sedangkan setelah aku di Semarang, aku baru tahu kalau ada metode tsaqifa, qiroati. Khusus untuk qiroati, aku sudah tahu semenjak duduk di bangku kelas XII SMA, tapi lidah ku sudah terbiasa dengan tartil, sehingga untuk pindah haluan ke qiroati tidak mudah. Sehingga aku memutuskan untuk tetap berada di jalan tartil. Setelah dengan perlobian dan perbincangan via sms yang panjang, akhirnya aku menerima tawaran dari mbak kos dan bismillah, semoga bermanfaat.

Hari pertama belajar yaitu hari sabtu, 24 Maret 2012 jam 13.30 WIB di salah satu aula Samsat Banyumanik. Dua ibu yang semangat, sebut saja Bu W dan Bu N. Keduanya sudah berumur 48. Sebelum dimulai belajar, jauh-jauh hari aku sudah membeli Iqro’ lengkap dari jilid 1 hingga 6. Ternyata buku pedoman yang dipegang ibu W dan ibu N juga sama. Setelah majlis ku buka, kami saling berkenalan. Ibu N menceritakan bahwa beliau dulu lancar membaca Al-Qur’an, tapi karena pekerjaan dan urusan rumah tangga yang tidak sedikit, mengakibatkan ibu N jarang membaca Al-Qur’an hingga tidak sempat membaca Al-Qur’an. Sekarang giliran waktu senggangnya sudah banyak dan beliau ingin membaca Al-Qur’an, lidahnya terasa kaku dan tak bisa membaca Al-Qur’an. Karena itu beliau ingin belajar dari awal, dari Iqro’ 1. Mendengar cerita dari ibu N, aku teringat perkataan pak Kyai ku di kampung, yang dulu pernah memberi wejangan kepada murinya bahwa “Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak keajaiban dan kemanfaatan bagi pembacanya. Seorang yang telah lancar membaca Al-Qur’an, coba saja tidak membacanya selama lima tahun, pasti ketika hendak membacanya akan kesulitan. Jangankan lima tahun, baru tidak membaca satu bulan pun, orang yang awalnya lancar, pasti akan grutal-gratul.”

Demikian tadi kisah dari bu N yang tidak jauh beda dengan bu W. Untuk bu W ini, beliau dulu juga sudah bica membaca Al-Qur’an, bahkan setelah beliau sadar kalau bacaannya banyak yang terlupa, beliau sering memanggil mahasiswi UNDIP untuk mengajari bu W. Tapi ketika bu W masih semangat, kendalanya adalah mahasiswi yang mengajari bu W waktunya lulus dan pulang kampung. Pengalaman seperti itu bukan hanya sekali bu W alami, tapi sudah berkali-kali.

Setelah bertaaruf, kami langsung menyabet iqro’ kami masing-masing dan mulai membaca jilid 1. Seperti yang telad dikatakan di depan, ibu-ibu ini sudah pernah belajar mengaji. Akhirnya pada hari pertama kami membaca bersama dan pada hari itu berhasil sampai halaman 34. Dan aku hanya menyimak dan membenarkan lafadz dari ibu-ibu cantik itu. Mungkin emang karena sudah lidah orang berumur, untuk mengucapkan Tsa membutuhkan usaha yang sangat keras. Setelah diulang-ulang akhirnya kedua ibu ini bisa mengucapkan Tsa dengan benar. Yakni lidah digigit sedikit. Ketika sampai di huruf Ja, itu juga merupakan kesulitan yang sama bagiku. Karena pengucapannya harusnya tak ada udara yang keluar dari mulut. Aku sendiri masih belajar untuk pengucapan huruf ini. Kesulitan demi kesulitan dalam pengucapan semakin menjadi, ketika menginjak halaman 9 dan 10, yakni ha, kho. Ku sampaikan untuk ha bersih dan untuk Kho itu kotor. Perlahan, tapi pasti. Akhirnya bu W dan bu N bisa mengucapkan kedua huruf itu.  Berlanjut ke halaman berikutnya dan berikutnya. Huruf selanjutnya yang harus dibenarkan untuk lidah ibu-ibu ini adalah sa dan sya. Dengan mudah bu W dan bu N mengingat kedua huruf ini, tidak perlu waktu yang lama seperti ha dan kho tadi. Merupakan satu kebahagiaan tersendiri bagiku. Bisa melihat senyuman dari bu W dan bu N ketika pengucapan huruf Tsa, Sa dan Sya dengan baik dan benar.

Ternyata kesulitan tidak berhenti di huruf Sya, dalam perjalanan ke halaman 17 hingga 21 kami melewati kesulitan yang menurutku memang tidak mudah ditakhlukkan. Yaitu dari huruf Sho, Dho, Tho, Dzo. Aku sendiri masih susah untuk menata lidah untuk Dho dan Dzo. Untuk Dho, ujung lidah digigit di gigi geraham. Sedangkan untuk Dzo, lidah diruncingkan kedepan. Dan kesulitan lagi adalah A dan Qo. Untuk huruf yang memerlukan penekanan ini, tidak mudah untuk dilafadzkan oleh bu W dan bu N. Akhirnya aku mengatakan “untuk sementara A dan Ko dulu bu, sambil berjalan sembari dibenarkan sedikit-sedikit”.

Di hari pertama kami belajar hingga jam 15.30 WIB, melihat semangat ibu-ibu ini aku senang dan tidak tega untuk mengatakan “sudah ya bu”. Jempol yang ku punya ku acungkan untuk kedua ibu ini. Walau usia beliau sudah tidak muda lagi, beliau masih semangat untuk belajar membaca Al-Qur’an. “Tholabul 'ilmi fariidhotan ‘alaa kulli muslimin(Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim). Tuntutlah ilmu dari belaian ibu hingga liang lahat”

Sepulang dari Samsat, aku sangat bersyukur karena aku belajar membaca Al-Qur’an sejak balita dan bukan hanya belajar membaca, tapi aku juga belajar menulis arab. Karena menulis arab tidak semudah menulis alphabet. Butuh perasaan dan keindahan serta ketepatan. Penulisan Ba dan Na yang berbeda cengkungnya. Penulisan Ro dan Za yang juga berbeda. Bukan hanya berbeda karena adanya titik di Za, tapi bentuk dari Ro dan Za sebenarnya berbeda. Terimakasih Ustadz-Ustadzahku yang telah mengajariku baca tulis Al-Qur’an. Terimakasih Mak e, yang telah menyerahkan pendidikanku ke tangan yang benar. Rasa syukurku tak berhenti di sana. Aku pun bersyukur karena aku berada di lingkungan yang InsyaAlloh selalu memuiakan Al-Qur’an. Setiap hari lantunan ayat suci Al-qur’an selalu terdengar dari kamar ke kamar. Sehingga memacuku untuk menyalakan semangat baca Al-Qur’an, dan dengan tekad “Fastabiqul Khoirot” Berlomba-lomba dalam kebaikan. 

4 komentar:

  1. halloo, assalamu'alaykum mba dian :)
    wah, subhanalloh, blog baru ya...
    keep writing ya mba :)
    ditunggu tulisan2 barunya...
    barokalloh... ^_^

    BalasHapus
  2. Wa'alaikum salam nina...
    iya nih, masih prawan,
    hehehe
    mohon bimbigannya ya nina,,
    :)

    BalasHapus
  3. wahhh ternyata tadi siang itu k samsat mau belajarin ibu2 yooo?
    ati2 klo lulus nt ojo dtgl muleh deso neh yo din...
    kasian :p

    BalasHapus
  4. hehehehe

    iya Ummy...
    aku pengenne menetap di Jawa Tengah
    hehehe

    BalasHapus