Belajar di waktu kecil bagai mengukir diatas batu
Belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir diatas air
Syair diatas
merupakan lagu favoritku di masa TPA dulu. Kalau lagu itu dinyanyikan, aku
berani mengeluarkan suara yang paling keras dan paling merdu dari mulut
mungilku dulu. Walaupun dulu aku tidak tahu maksud dari lagu itu. Yang ada
difikkiranku dulu hanyalah aku suka lagu ini karena nadanya indah.
Sekarang, di usiaku
yang hampir menginjak 22 tahun, aku mengalami kebenaran, kenyataan dari lagu
itu. Kenyataan ini bermula dari sms dari salah satu mbak kosku yang minta
tolong padaku untuk mengajar mengaji (baca al-qur’an)ibu-ibu yang bekerja di
Samsat Banyumanik. Pada awalnya aku ragu, karena aku belajar baca Al-qur’an
tidak menggunakan metode khusus. Hanya tartil biasa yang diajarkan ustadzku
dulu sewaktu aku berusia 3tahun. Dan dilanjutkan dengan pelatihan
ustadz-ustadzah yang diselenggarakan oleh BKPRMI Bojonegoro. Hanya tartil saja.
Sedangkan setelah aku di Semarang, aku baru tahu kalau ada metode tsaqifa,
qiroati. Khusus untuk qiroati, aku sudah tahu semenjak duduk di bangku kelas
XII SMA, tapi lidah ku sudah terbiasa dengan tartil, sehingga untuk pindah
haluan ke qiroati tidak mudah. Sehingga aku memutuskan untuk tetap berada di
jalan tartil. Setelah dengan perlobian dan perbincangan via sms yang panjang,
akhirnya aku menerima tawaran dari mbak kos dan bismillah, semoga bermanfaat.
Hari pertama
belajar yaitu hari sabtu, 24 Maret 2012 jam 13.30 WIB di salah satu aula Samsat
Banyumanik. Dua ibu yang semangat, sebut saja Bu W dan Bu N. Keduanya sudah
berumur 48. Sebelum dimulai belajar, jauh-jauh hari aku sudah membeli Iqro’
lengkap dari jilid 1 hingga 6. Ternyata buku pedoman yang dipegang ibu W dan
ibu N juga sama. Setelah majlis ku buka, kami saling berkenalan. Ibu N
menceritakan bahwa beliau dulu lancar membaca Al-Qur’an, tapi karena pekerjaan
dan urusan rumah tangga yang tidak sedikit, mengakibatkan ibu N jarang membaca
Al-Qur’an hingga tidak sempat membaca Al-Qur’an. Sekarang giliran waktu
senggangnya sudah banyak dan beliau ingin membaca Al-Qur’an, lidahnya terasa
kaku dan tak bisa membaca Al-Qur’an. Karena itu beliau ingin belajar dari awal,
dari Iqro’ 1. Mendengar cerita dari ibu N, aku teringat perkataan pak Kyai ku
di kampung, yang dulu pernah memberi wejangan kepada murinya bahwa “Di dalam
Al-Qur’an itu terdapat banyak keajaiban dan kemanfaatan bagi pembacanya.
Seorang yang telah lancar membaca Al-Qur’an, coba saja tidak membacanya selama
lima tahun, pasti ketika hendak membacanya akan kesulitan. Jangankan lima
tahun, baru tidak membaca satu bulan pun, orang yang awalnya lancar, pasti akan
grutal-gratul.”
Demikian tadi kisah
dari bu N yang tidak jauh beda dengan bu W. Untuk bu W ini, beliau dulu juga
sudah bica membaca Al-Qur’an, bahkan setelah beliau sadar kalau bacaannya
banyak yang terlupa, beliau sering memanggil mahasiswi UNDIP untuk mengajari bu
W. Tapi ketika bu W masih semangat, kendalanya adalah mahasiswi yang mengajari
bu W waktunya lulus dan pulang kampung. Pengalaman seperti itu bukan hanya
sekali bu W alami, tapi sudah berkali-kali.
Setelah bertaaruf,
kami langsung menyabet iqro’ kami masing-masing dan mulai membaca jilid 1.
Seperti yang telad dikatakan di depan, ibu-ibu ini sudah pernah belajar
mengaji. Akhirnya pada hari pertama kami membaca bersama dan pada hari itu
berhasil sampai halaman 34. Dan aku hanya menyimak dan membenarkan lafadz dari
ibu-ibu cantik itu. Mungkin emang karena sudah lidah orang berumur, untuk
mengucapkan Tsa membutuhkan usaha
yang sangat keras. Setelah diulang-ulang akhirnya kedua ibu ini bisa
mengucapkan Tsa dengan benar. Yakni
lidah digigit sedikit. Ketika sampai di huruf Ja, itu juga merupakan kesulitan yang sama bagiku. Karena
pengucapannya harusnya tak ada udara yang keluar dari mulut. Aku sendiri masih
belajar untuk pengucapan huruf ini. Kesulitan demi kesulitan dalam pengucapan
semakin menjadi, ketika menginjak halaman 9 dan 10, yakni ha, kho. Ku sampaikan untuk ha
bersih dan untuk Kho itu kotor.
Perlahan, tapi pasti. Akhirnya bu W dan bu N bisa mengucapkan kedua huruf itu. Berlanjut ke halaman berikutnya dan
berikutnya. Huruf selanjutnya yang harus dibenarkan untuk lidah ibu-ibu ini
adalah sa dan sya. Dengan mudah bu W dan bu N mengingat kedua huruf ini, tidak
perlu waktu yang lama seperti ha dan kho tadi. Merupakan satu kebahagiaan
tersendiri bagiku. Bisa melihat senyuman dari bu W dan bu N ketika pengucapan
huruf Tsa, Sa dan Sya dengan baik dan
benar.
Ternyata kesulitan
tidak berhenti di huruf Sya, dalam
perjalanan ke halaman 17 hingga 21 kami melewati kesulitan yang menurutku
memang tidak mudah ditakhlukkan. Yaitu dari huruf Sho, Dho, Tho, Dzo. Aku sendiri masih susah untuk menata lidah
untuk Dho dan Dzo. Untuk Dho, ujung lidah digigit di gigi
geraham. Sedangkan untuk Dzo, lidah
diruncingkan kedepan. Dan kesulitan lagi adalah A dan Qo. Untuk huruf yang memerlukan penekanan ini, tidak mudah
untuk dilafadzkan oleh bu W dan bu N. Akhirnya aku mengatakan “untuk sementara A dan Ko dulu bu, sambil berjalan
sembari dibenarkan sedikit-sedikit”.
Di hari pertama
kami belajar hingga jam 15.30 WIB, melihat semangat ibu-ibu ini aku senang dan
tidak tega untuk mengatakan “sudah ya bu”. Jempol yang ku punya ku acungkan
untuk kedua ibu ini. Walau usia beliau sudah tidak muda lagi, beliau masih
semangat untuk belajar membaca Al-Qur’an. “Tholabul 'ilmi fariidhotan ‘alaa kulli muslimin(Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim). Tuntutlah ilmu dari belaian ibu
hingga liang lahat”
Sepulang dari
Samsat, aku sangat bersyukur karena aku belajar membaca Al-Qur’an sejak balita
dan bukan hanya belajar membaca, tapi aku juga belajar menulis arab. Karena
menulis arab tidak semudah menulis alphabet. Butuh perasaan dan keindahan serta
ketepatan. Penulisan Ba dan Na yang berbeda cengkungnya. Penulisan Ro dan Za yang juga berbeda. Bukan hanya berbeda karena adanya titik di Za, tapi bentuk dari Ro dan Za sebenarnya berbeda. Terimakasih Ustadz-Ustadzahku yang telah
mengajariku baca tulis Al-Qur’an. Terimakasih Mak e, yang telah menyerahkan pendidikanku
ke tangan yang benar. Rasa syukurku tak berhenti di sana. Aku pun bersyukur
karena aku berada di lingkungan yang InsyaAlloh selalu memuiakan Al-Qur’an.
Setiap hari lantunan ayat suci Al-qur’an selalu terdengar dari kamar ke kamar.
Sehingga memacuku untuk menyalakan semangat baca Al-Qur’an, dan dengan tekad
“Fastabiqul Khoirot” Berlomba-lomba dalam kebaikan.
halloo, assalamu'alaykum mba dian :)
BalasHapuswah, subhanalloh, blog baru ya...
keep writing ya mba :)
ditunggu tulisan2 barunya...
barokalloh... ^_^
Wa'alaikum salam nina...
BalasHapusiya nih, masih prawan,
hehehe
mohon bimbigannya ya nina,,
:)
wahhh ternyata tadi siang itu k samsat mau belajarin ibu2 yooo?
BalasHapusati2 klo lulus nt ojo dtgl muleh deso neh yo din...
kasian :p
hehehehe
BalasHapusiya Ummy...
aku pengenne menetap di Jawa Tengah
hehehe